Ad Code

Responsive Advertisement

KEBIJAKAN KESEHATAN MASYARAKAT BERBASIS BUKTI

ABSTRAK
Kebijakan kesehatan masyarakat berbasis bukti tidak sekedar ekstrapolasi kedokteran berbasis bukti ke dalam bidang kesehatan masyarakat. Dalam kebijakan kesehatan masyarakat tidak diterapkan hirarki bukti tetapi jenis-jenis bukti berbeda yang relevan untuk mendukung kebijakan. Ada berbagai dimensi bukti yang dapat digunakan untuk mendukung perumusan kebijakan kesehatan dalam konteks politik, sosial dan budaya. Jenis-jenis bukti untuk kebijakan kesehatan masyarakat lebih luas dibandingkan bukti-bukti klinis. Bagaimana menghasilkan, menilai dan melakukan kajian atas bukti kesehatan masyarakat secara sistematik perlu dikembangkan dan diaplikasikan untuk
persoalan-persoalan penting kesehatan masyarakat, misalnya melawan rokok dan paparan terhadap asap rokok secara pasif.Kata kunci: bukti, kesehatan masyarakat, kebijakan
PENGANTAR
Seperempat abad yang lalu wacana praktikmedis berbasis bukti telah digulirkan, walaupun dengan pelbagai nama seperti epidemiologi klinik, critical appraisal, atau kajian sistematik.

 Para dokterdituntut untuk memberikan pelayanan klinis berdasarkan bukti (evidence), yakni mengambil keputusan dalam pelayanan terhadap pasien atas dasar bukti yang terbaik, melalui pertimbangan
masak, eksplisit dan cermat. Dalam jaminan kesehatan dengan sistem managed care, bukti bahwa cara diagnosis maupun pengobatan lebih memberikan manfaat dibandingkan mudaratmenentukan apakah tindakan medis tersebutditanggung atau tidak oleh pihak asuransi.

Bukti klinis yang baik diperoleh dari penelitianklinis yang ketat, dilandasi kaidah-kaidah penelitian ilmiah. Rentang kekuatan bukti ilmiah tersebut berkisar dari pendapat ahli (expert judgment) sebagaibukti yang dianggap paling lemah, sampai hasil ujiklinik dengan randomisasi (randomized controlledtrial) sebagai bukti paling kuat, khususnya setelahdilakukan kajian sistematik atas beberapa uji klinikyang dilakukan. Pelbagai instrumen telah digunakanuntuk menilai kajian efektivitas intervensi terapi atau pencegahan, hubungan sebab-akibat, perumusanpedoman klinik, dan program promosi kesehatan.

Dengan demikian bukti-bukti klinis terutama bersumber pada populasi pasien atau  fenomen penyakit secara agregat. Bukti semacam ini tidak asing bagi praktisi kesehatan masyarakat yang melakukan intervensi kesehatan di masyarakat atas dasar bukti pada tingkat populasi, yang dikenal sebagai metode dan substansi epidemiologi.
Sejarah menceritakan bagaimana James Lind menggunakan perasan jeruk nipis untuk mencegah penyakit scurvy atas dasar penelitian pada populasi pelaut yang berminggu-minggu berlayar di tengah laut. Ignaz Semmelweis mencegah infeksi pada ibuibu setelah melahirkan (puerperal fever) dengan mengharuskan mahasiswa kedokteran untuk mencuci tangan sebelum menolong persalinan. Singkat kata, bukti ilmiah tidak cukup hanya didasarkan pada intuisi, pengalaman, dan logika patofisiologi yang menjelaskan sebab-akibat
penyakit. John Snow melakukan serangkaian kajian di masyarakat untuk menunjukkan bahwa penyakit
cholera yang menelan banyak korban di London ditularkan melalui air yang tercemar. Bukti normatif dan operasional Banyak kritik dilontarkan pada pelayanan klinis berbasis bukti yang mengartikan bukti ilmiah secara sempit, bersifat kuantitatif dan mengacu pada kaidah-kaidah probabilitas. Oleh karenanya disepakati bahwa sekuat apapun bukti klinis yang ada, pengambilan keputusan dalam pelayanankesehatan perlu mempertimbangkan konteks lokal dan kebutuhan atau preferensi pasien. Dalam kebijakan kesehatan masyarakat,  konteks lokal sering penuh ketidakpastian, kompleks dan sulit dipahami. Preferensi masyarakat diwarnai tarikmenarik kepentingan oleh pihak-pihak yang berbeda.

Bukti ilmiah secara normatif tidak dibatasi olehkonteks. Suatu bukti mempunyai nilai yang rendah atau tinggi, sehingga bisa kurang atau sangat bermanfaat dalam melandasi pengambilan keputusan atau kebijakan. Sifat-sifat bukti (misalnya kesesuaian dengan kenyataan dan konsistensi) menentukan kualitasnya, sejauh mana bukti tersebut dapat  diandalkan, terlepas dari konteks yang ada. Fokus pada kualitas bukti ini dilembagakan, misalnya dengan adanya institusi seperti Cochrane and Campbell Collaborations, yang telah
mengembangkan kajian sistematik atas bukti-bukti ilmiah bermutu tinggi dalam bidang kedokteran,
kesehatan dan kebijakan sosial. Dalam kajian sistematik atas kebijakan kesehatan masyarakat, pelbagai metode digunakan untuk menilai banyak penelitian, menemukan konsistensi temuan-temuan penelitian dan memahami mengapa hasil penelitian bisa berbeda-beda dan bagaimana intervensi kesehatan dapat efektif dalam konteks tertentu.

Berkebalikan dengan orientasi normatif sebagaimana yang sering diterapkan pada pelayanan klinis berbasis bukti, dalam kesehatan masyarakat bukti hanya dapat dipahami sebagai kesatuan dengan konteksnya. Paham yang praktis dan noperasional ini lebih sesuai dengan teori pengambilan keputusan yang harus memperhitungkan banyak faktor. Pelbagai kebijakan kesehatan sering didasarkan pada perhitungan politik, kemungkinankeberhasilan, dan waktu yang tepat. Lalu, adakah bukti bahwa kebijakan kesehatan masyarakat tertentu cenderung bisa diterima atau sebaiknya ditolak? Kajian sistematik untuk menemukan dan menilai bukti ilmiah suatu kebijakan kesehatan tidak bisa mengandalkan penelitian yang bersifat eksperimen murni (randomized controlled trial), kerangka teori biomedik dan semata-mata merupakan sintesis statistik. Secara umum, kajian sistematik harus meminimalkan bias.
Khusus untuk kebijakan kesehatan, Fielding dan Briss menganjurkan pemanfaatan analisis dampak kesehatan (projek, program dan kebijakan), kajian sistematik dan protofolio untuk menjamin kesesuaian kebijakan dengan masyarakat dan kelaikan dalamimplementasi. Kajian sistematik atas bukti kebijakan kesehatan memang bukan segala-galanya untuk menilai apakah kebijakan tersebut sudah tepat, tetapi paling tidak bisa mengarahkan apakah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memperkuatbukti yang telah ada, dan bagaimana penelitian harus dilakukan untuk memaksimalkan kekuatan bukti yang mendukung suatu kebijakan tertentu. Penelusuran bukti untuk kebijakan kesehatan Serangkaian pertanyaan dapat mengarahkan proses penelusuran bukti atas kebijakan atau intervensi kesehatan masyarakat, sehingga mampu mendukung kebijakan publik yang harusdiimplementasikan di masyarakat. Dalam kebijakan kesehatan, proses implementasikebijakan atau intervensi kesehatan masyarakat juga dapat berpengaruh terhadap keberhasilan yang dicapai, sehingga hirarki bukti yang mendewakan uji klinik (randomized clinical trial) tidak cocok untuk diterapkan. Tipologi bukti yang relevan dengan isi maupun proses kebijakan kesehatan tidak dinilai dengan pembobotan untuk menyusun hirarki, tetapi kesesuaian dengan perumusan dan penerapan kebijakan (Tabel 
2). Kebijakan kesehatan atau intervensi kesehatan masyarakat menterjemahkan bukti-bukti ilmiah mengenai prospek intervensitersebut melalui serangkaian pemahaman,diseminasi dan keterlibatan pemangku kepentingan, adopsi, dan implementasi pada tingkat lokal. Tantangan dalam penggunaan bukti ilmiah untuk mendukung kebijakan kesehatan masyarakat adalah
kajian sistematik memadukan bukti-bukti dari pelbagai dimensi kebijakan sesuai dengan persoalan
nyata di masyarakat yang bersangkutan. akan menjadi model penting kebijakan kesehatan masyarakat berbasis bukti dalam memecahkan masalah-masalah kesehatan masyarakat pada
umumnya.

KEPUSTAKAAN
1. Sacket D.J., Haynes R.B. and Tugwell P. Clinical
epidemiology: a basic science for clinical
medicine.  Company. Boston. 1985.
2. Fox D.M. Evidence of evidence-based health
policy: the politics of systematic reviews in


Sumber: http://dinkes-sulsel.go.id/new/images/pdf/jurnal/02-mkhari%20kusnanto.pdf

Posting Komentar

0 Komentar