Ad Code

Responsive Advertisement

Ada Kemudahan Mengiring Kesulitan

Kami adalah keluarga kecil yang oleh kebanyakan orang disangkanya adalag keluarga yang tidak pernah punya masalah. Dianggapnya kami adalah keluarga yang selalu berkecukupan tanpa pernah mengalami kesulitan. Ya… itulah kehidupan, kalau orang Jawa bilang, “Mung sawang-sinawang”, hanya saling menyaksikan. Masing-masing merasa hanya dirinyalah yang memeiliki masalah, sedang dalam pandangannya;orang lain hidup enak tanpa persoalan. Rumput tetangga selalu tampak lebih hijau. Padahal siapapun yang hidup didunia, tak luput dari permasalahan atau persoalan. Itulah romantika kehidupan, bahkan binatangpun harus berejuang untuk kelangsungan hidupnya.

Alhamdulillah jika mereka beranggapan seperti itu terhadap keluargaku, dan aku menganggapnya sebagai do’a yang mudah-mudahan dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Meski pandangan seperti itu mungkin disebabkan karena mereka yang tidak tahu. Atau lantaran apa yang disaksikannya tentang keadaan keluargaku saat ini saja.
Jika aku menengok kehidupan keluarga kami 15 tahun yang lalu, teringat kembali dalam benakku betapa pahit dan getirnyakehidupan saaat itu. Walau aku anak sulung yang belum baligh saat itu, sungguh telah merasa pahit dan getirnya kehidupan. Meski belum dengan kemampuan merasa sempurna.
Ketika itu kami menumpang di rumah nenek buyut, yang berarti nenek dari bapak. Kmi menempati rumah bambu yang tidak begitu luas, bahkan bisa dibilang sangat sempit. Ruangan bekas kandang  ayam, yaa… bekas kandang ayam. Ruang yang multi fungsi; sebagai tempat tidur, makan, menerima tamu, sekaligus dapur. Terinagt saat sendu dan mendebarkan tatkala hujan lebat dan dinginpun menembus dinding seisi ruangan. Sedang perut juga tidak terisi dengan sewajarnya, apalagi kenyang. Mungkin para tetangga sedang tidur nyeyak dan berselimut tebal dan nyaman, sedangkan kami dliputi rasa mencekam, jangan-jangan rumah yang kami tempati akan rubuh. Kami pandangi kayu-kayu rapuh yang menjadi santapan rayap-rayap liar sembari berharap agar apa yang kami khawatirkan tidak terjadi. Pasrah…Ya.. kami hanya bisa pasrah. Hingga ketika hujan mulai reda, kami baru berusaha beristirahat dengan tenang, Alhamdulillah…!
Ada saatnya ketika bapak pergi merantau untuk mencari nafkah, kamipun harus hidup bertiga (ibu, aku, dan adikku di rumah bamboo itu.
Saat itu, pernah ada pengalaman yang membekas kuat dalam ingatanku. Suatu hari ibu hanya mempunyai uang Rp. 25,- ditangan. Untuk ukuran waktu itupun, uang sejumlah itupun jelas tidak cukup untuk makan bertiga. Sedang bagiku dan adikku, taunya hanya ada. Bahwa kami butuh makan, belum peduli bagaimana cara ibu mencarinya.
Ibupun bingung meski bagaimana, sedih juga karena melihat kami kelaparan. Rasanya tidak ada pilihan. Ingin berhutang ke warung sebelah, tapi hutang kami sudah menumpuk disana. Hendak memeohon kepada sanak famili, sudah terlalu sering kami merepotkan mereka. Karena panic dan tidak ada cara lain untuk menjadikan uang itu lebih banyak kecuali dengan membeli SDSB (kupon judi waktu itu), maka dengan sangat terpaksa ibupun membeli kertas haram itu. Dua puluh lima rupiah dikembalikan semuanya. Entah harus berkata alhamdulillah atau innalillah, ternyata nomor itu tembus dan akhirya kami bisa makan sekeluarga. Astagfirullah kami bertaubat atas apa-apa yang kami makan dari harta haram itu.
Waktu terus berlalu seiring pergantian hari. Bapak semakin mapan dalam pekerjaannya, dan kamipun semakin paham keadaan sehingga tidak menuntut kecuali sebatas kemampuan orang tua. Alhamdulillah, dengan izin Allah kami bisa membangun sebuah rumah diatas sepetak tanah warisan dari nenek buyut. Akan tetapi belum sempurna rumah yang kami tempati, kami sudah mendapat cobaan dengan jatuh sakitnya ibu dan harus opname di rumah sakit.
Betapa terkejutnya kami ketika ibu didiagnosis hamil anggur dan harus segera dioperasi. Walau tidak tahu akan dapat biaya dari mana., bermodal tawakkal bapak langsung menandatangani surat kesanggupan operasi ibu kami. Dengan membuang rasa malu dan gengsi bapak memberanikan diri mendatangi famili dekat yang cukup berduait waktu itu. Maksud bapak memeinjam uang untuk biaya operasi ibu. Akan tetapi harapan kandas bersama kegetiran yang harus kami telan. “Kamu kok mau pinjam uang sebayak itu, lha nanti mau mengembalikan dengan apa? Maaf saya tidak punya uang!,” begitu jawaban family kami. Walau pahit terasa sangat, tapi itulah kenyataan yang harus kami terima.
Subhanallah, Allah memang tidak akan menguji diluar kemampuan hambaNya. Semua tidak terjadi kebetulan saja, seluruhnya menjadi bagian takdirnya. Kemudahan akhirnya Allah berikan bersama pertolongannya. Ada seorang dermawan yang berinisiatif menggalang dana dari masyarakat guna membantu meringankan beban kami. Dan alhamdulillah, operasi berjalan lancar meski sebagian lagi harus berhutang.
Roda nasibpun terus berputar. Allahu Akbar, Dia yang memegang segala urusan. Setelah cobaan demi cobaan kami lalui, akhiryan kami bisa mersakan hidup yang lebih layak. Setidaknya tidak separah dulu lagi. Ada ketenangan, ada ketentraman tatkala kami mampu selau bersandar pada kekuasaanNya. Sepenuh keyakinan.
Memang demikian rona kehidupan, ada kalanya terang-benderang dalam keceriaan, namun tidak jarang suram mencekam. Sungguh, semua urusan kita hanya bergantung pada kehendak dan pertolonganNya. Berat atau ringan, kesulitan maupun kemudahan, kelapangan atau kesempitan, kekurangan atau kecukupan, hanyalah corak yang harus dipergilirkan. Tinggal bagaimana kita mensikapinya, bisa bersabar dalam satu waktu atau bersyukur pada saat yang lain, …atau bahkan justru sebaliknya.
Subhanallah Allahu Akbar… famili bapak yang ketika itu sedang sakit tidak mau meminjami uang untuk pengobatan ibu, tanpa disangka pernah datang ke tempat kami dan berniat meminjam kapada kami dan berniat untuk kebutuhannya. Alhamdulillah, bapak mampu bersikap penuh kesadaran bahwa diantara sesama ada kewajiban untuk saling membantu.
Allah, segala puji hanya untukMu!

Posting Komentar

0 Komentar