Ad Code

Responsive Advertisement

PUASA SYARI’AT, PUASA THARIQAT DAN PUASA HAKIKAT

Ibadah apapun dalam Islam semuanya bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sedangkan mendekatkan diri dengan Allah Swt itu haruslah dengan terlebih dahulu membersihkan hati dari segala kotoran-kotoran atau penyakit-penyakit hati terutama segala hal yang meyebabkan terhijabnya diri dengan Allah Swt. Dalam dunia tasawuf, ibadah secara umum dapat dikerangkakan ke dalam tiga langkah atau tahapan, yaitu takhalli, tahalli dan tajalli. Takhalli secara bahasa berarti mengosongkan, dalam terminologi tasawuf berarti membersihkan diri dari berbagai dosa yang mengotori jiwa, baik dari dosa lahir maupun dari dosa batin, atau istilah Imam al-Ghazali itu penyakit hati. Yang dimaksud dosa lahir di sini adalah setiap perbuatan dosa yang melibatkan aspek fisik atau badan jasmani kita. Contohnya seperti membunuh, berzina, merampok, mencuri, mabuk-mabukan, menyalahgunakan narkoba dan sebagainya. Adapun yang termasuk dosa batin atau dosa yang timbul dari aktivitas hati antara lain, dendam, iri, dengki, riya, ujub, takabur dan sebagainya.

Adapun tahalli secara bahasa berarti menempatkan atau mengisi. Dalam dunia tasawuf berarti mengisi atau menghiasi diri dengan berbagai amal saleh, baik amalan lahir maupun amalan batin. Atau kalau lebih dalam lagi, berarti menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji dengan “meniru” akhlak atau sifat-sifat Allah serta meneladani akhlak Rasululah Saw. Dalam kaitan ini misalnya ada hadits yang sudah cukup populer karena sering dikutip, takhallaqu bi akhlaqillah. Mengenai keteladanan Rasul ada ayat, laqad kana lakum fi rasullillah uswatun hasanah.

Sedangkan tajalli merupakan hasil atau buah dari dua langkah sebelumnya, takhalli dan tahalli, yang berupa tersingkapnya selubung atau hijab yang menghalangi seorang manusia dengan Tuhan, sehingga ia benar-benar dekat dengan Allah, sudah benar-benar merasakan kehadiran Allah secara intens. Bahkan pengalaman spiritual yang lebih intens lagi melalui proses tajalli ini adalah bersanding dengan-Nya seperti besi meleleh ketika di bakar maka besi juga memiliki sifat laksana api.

Dalam pandangan tasawuf kualitas ruhani manusia itu pada dasarnya adalah suci, dalam istilah agama disebut fitrah, karena memang ia bersumber dari Allah SWT langsung. Nabi sendiri pernah bersabda:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ

“Setiap (bayi) yang dilahirkan pada mulanya bersifat suci (fitrah), kedua orangtuanya lah yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Muslim)

Jadi kualitas ruhani manusia itu mulanya laksana kaca yang sangat bening, yang dapat menerima dan memantulkan kembali dengan sempurna setiap cahaya yang datang. Demikian halnya jiwa yang suci dapat menerima dengan sempurna cahaya kebenaran (hidayah) dari Tuhan untuk kemudian memantulkannya kembali dengan sempurna dalam bentuk akhlaq al-karimah.

Seperti ibadah-ibadah lainnya, maka puasa dalam pandangan tasawuf adalah sebagai sarana atau media untuk melakukan takhalli, tahalli, dan pada akhirnya mencapai tajalli. Bahkan, selain dzikir, puasa merupakan media atau sarana yang paling lengkap untuk melakukan ketiga langkah tersebut.

Puasa, secara bahasa berarti imsak (menahan, menghentikan, atau mengendalikan). Dalam dunia tasawuf, yang dimaksud puasa adalah menahan atau mengendalikan hawa nafsu, yang kalau ia tidak terkendali akan menjadi sumber dan penyebab terjadinya berbagai dosa dan kejahatan, baik dosa lahir maupun dosa batin yang dapat mengotori dan merusak kesucian jiwa. Jadi lingkup hawa nafsu di sini bukan cuma mengekang nafsu makan minum dan nafsu birahi  saja. Pengendalian nafsu yang merupakan inti dari puasa itu dengan sendirinya dapat menghindarkan manusia dari segala dosa, yang dalam istilah tasawuf disebut dengan takhalli tadi.

Oleh sebab itu orang yang berpuasa tetapi masih juga melakukan berbagai dosa, baik dosa lahir maupun dosa batin, berarti dia tidak mampu mengendalikan nafsu, dan karena itu puasa yang dilakukannya tidak bernilai sama sekali. Dalam sebuah hadits diriwayatkan, pada bulan Ramadan ada seorang wanita mencaci maki pembantunya. Ketika Rasalullah mengetahui kejadian tersebut, beliau menyuruh seseorang untuk membawa makanan dan memanggil wanita itu, lalu Rasulullah bersabda, “makanlah makanan ini”. Wanita itu menjawab, “saya ini sedang berpuasa ya Rasulullah.” Rasululah bersabda lagi, “Bagaimana mungkin kamu berpuasa padahal kamu mencaci-maki pembantumu. Sesunguhnya puasa adalah sebagai penghalang bagi kamu untuk tidak berbuat hal-hal yang tercela. Betapa banyaknya orang yang berpuasa, dan betapa banyaknya orang yang kelaparan.”

Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa orang yang hanya menahan lapar dan dahaga saja, tetapi tidak sanggup mewujudkan pesan moral di balik ibadah puasa itu, yaitu berupa takhalli dari dosa lahir dan batin, maka puasanya itu tidak lebih dari sekedar orang-orang yang lapar saja.

Menurut Syeikh Abdul Qodir Al-Jilany ( Dalam Kitab Sirrul Asror ) puasa itu dapat dibagi tiga, yakni puasa Syari’at, puasa Thariqat dan puasa Hakikat.

Puasa Syariat adalah menahan diri dari makan dan minum, dan dari berhubungan suami isteri di siang hari. Sedangkan Puasa Thariqat itu, mengekang seluruh tubuhnya dari hal-hal yang diharamkan, dilarang dan dicela, seperti ujub, takabur, bakhil dan sebagainya secara lahir maupun batin. Karena semua itu bisa membatalkan puasa thariqat.

Puasa syariat itu ada batas waktunya, yakni dari terbit fajar sampai matahari tenggelam dan wajib dilakukan dibulan Ramadhan saja. Sedangkan Puasa thariqat tidak dibatasi waktu tetapi setiap saat sepanjang umurnya ia senantiasa berpuasa menahan segala sifat-sifat yang tercela dan dilarang Allah Swt. Itulah yang disabdakan oleh Rasulullah saw:

كم من صائم ليس له جزاء إﻻ الجوع والعطس

“Betapa banyak orang berpuasa tetapi puasanya tidak lebih melainkan hanya rasa lapar…” (Hr. Ibnu Majah dan Al-Hakim).

Karena itu disebutkan, betapa banyak orang berpuasa tetapi ia justru berbuka, dan betapa banyak orang yang berbuka (tidak puasa) namun ia berpuasa. Yakni menahan anggota badannya dari dosa-dosa, menahan diri dari menyakiti manusia secara fisik, seperti firman Allah Ta’ala dalam hadits Qudsy:

قَالَ رَسُوْلُ الله صلي الله عليه وسلم كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ 

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya”. (HR. Muslim)

Bagi puasa syariat yang dimaksud dengan berbuka adalah makan/berbuka ketika maghrib, atau melihat bulan di malam Idul Fitri. Sedangkan puasa thariqat menegaskan bahwa berbuka itu akan diraih ketika masuk syurga dengan memakan kenikmatan syurga, dan kegembiraan ketika memandang Allah swt. Yaitu ketika bertemu dan memandang wajah Allah Ta’ala di dalam surga nanti, dengan pandangan rahasia batin secara nyata. Inilah yang dimaksudkan pada hadits :

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ

“Bagi orang yang berpuasa mendapatkan dua kegembiraan: kegembiraan ketika berbuka, dan kegembiraan ketika memandang Keindahan Ku.”

Sedangkan Puasa Hakikat adalah puasa menahan hati paling dalam dari segala hal selain Allah Ta’ala, menahan rahasia batin (sirr) dari mencintai memandang selain Allah Ta’ala seperti disampaikan dalam hadits Qudsy:

الإنسان سري وأنا سره
“Manusia itu rahasiaKu dan Aku rahasianya.”

Rahasia itu bermula dari Nurnya Allah swt, hingga ia tidak berpaling selain Allah Ta’ala. Selain Allah Ta’ala, tidak ada yang dicintai atau disukai dan tak ada yang dicari baik di dunia maupun di akhirat.

Bila terjadi rasa cinta kepada selain Allah gugurlah puasa hakikatnya. Ia harus segera mengqodho puasanya, yaitu dengan cara kembali kepada Allah swt dan bertemu denganNya. Sebab balasan Puasa Hakikat adalah bertemu Allah Ta’ala di akhirat. Maka hanya orang-orang pada tingkat inilah yang bisa mencapai tujuan puasa yang sebenarnya yaitu menjadikan pelakunya menjadi orang-orang yang taqwa.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah : 183)

Jadi puasa itu bagi sebagian besar orang adalah sebagai arena latihan. Melatih diri agar dapat dan mampu mengendalikan dirinya, melatih diri agar lebih sadar akan dirinya dan melatih diri agar mengenal hakikat dirinya, karena Nabi bersabda :

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ

“Barangsiapa mengenal dirinya, maka sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”

Sebagai tempat latihan, maka keberhasilan yang akan didapat tentu sangat tergantung pada dua faktor yaitu faktor  diri sendiri dan faktor pelatihnya, yaitu apakah dirinya bersungguh-sungguh dan tetap istiqomah dalam berlatih atau hanya bermalas-malasan saja dan juga bagaimana sosok pelatihnya, apakah pelatihnya sosok yang juga masih perlu dilatih, pelatih yang hanya pandai berteori atau beretorika saja atau pelatihnya benar-benar sosok pelatih yang mumpuni, pelatih yang telah sempurna teori dan prakteknya, pelatih yang benar-benar mengajar sesuai dengan kurikulum dari Allah Swt. Maka demikian juga halnya dengan puasa, sebagai tempat melatih diri kita harus sadar bahwa kita masih orang-orang yang dilatih, kita masih orang-orang yang belajar, kita masih orang-orang yang mengikut. Jangan pernah merasa engkau telah benar-benar berpuasa karena puasa kita masih banyak kekurangannya masih jauh dari sempurna, masih belum laku jika dipersembahkan di hadapan Allah. Namun kita harus senantiasa bersyukur karena kita sedang belajar berpuasa kepada orang yang telah sempurna puasanya, itulah Sang Imam Rabbani, Guru Mursyid kita.

Bulan Ramadhan jangan jadikan bulan musiman, musim bertaubat, musim rajin ke mesjid, musim membaca al-Qur’an, musim bersedekah, musim ibadah malam, musim mendengar tausiyah-tausiyah, musim menutup aurat, dan musim berpenampilan Islami. Lalu setelah Ramadhan berlalu kembali lagi ke watak aslinya, kembali ke habitat semula, ahli maksiat, sholat suka-suka, menjauh dari al-Qur’an, menjadi lagi pribadi yang kikir lalu auratpun dibuka berpenampilan serba seronok dan mungumbar syahwat. Kalau seperti itu bagaimana ampunan Allah akan didapat pasca Ramadhan ? Bagaimana mungkin kita mengklem bahwa Idul Fitri sebagai hari kemenangan ?

Mari kita renungkan.....!

@FB WarungKarunia

Posting Komentar

0 Komentar