Ad Code

Responsive Advertisement

PERSPEKTIF ETIKA DALAM STUDI FILSAFAT

Pengantar
Etika bukan merupakan ajaran (normatif) sebagaimana moralitas atau akhlak, tetapi merupakan ilmu atau lebih tepatnya pengetahuan filosofis tentang persoalan nilai moral prilaku manusia. Setiap moralitas atau akhlak menghendaki supaya manusia berprilaku baik sesuai dengan yang diajarkan, sedang etika menghendaki supaya manusia melakukan tindakan baik itu dengan kesadaran dan kepahamannya. Sadar dan paham atas apa yang dilakukannya, atas sumber dari mana “petunjuk” perbuatan itu, atas alasan kenapa perbuatan itu dilakukannya, dan atas apa konsekuensi perbuatan itu jika benar-benar dilakukannya.
Dengan kerangka demikian, artikel ini menjelaskan bagaimana kerangka kerja etika sebagai satu perspektif dalam studi filsafat. Dengan kerangka kerja yang jelas, banyaknya aliran dan madzhab pemikiran etika, bahkan tumpang tindih makna dari berbagai istilah dapat dijelaskan dan ditempatkan pada posisinya yang tepat. Dengan artikel ini, penulis berharap, kajian etika dapat terus dikembangkan sebagaimana cabang filsafat yang lain.
Kata Kunci: etika, filsafat, rasional, metafisik, religius, teleologis, deontologis, moral, hedonis
Studi filsafat tampaknya masih terus banyak diminati. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat semakin dirasakan signifikansinya, atau paling tidak, berarti telah terbangun suatu kesadaran kreatif, peka dan jernih dalam melihat persoalan, sehingga muncul ide-ide segar dan cemerlang. Namun demikian, sejauh ini di antara sekian banyak cabang filsafat, etika masih merupakan cabang yang kurang mendapat perhatian. Padahal memasuki filsafat dari sudut pandang etika juga tidak kalah menariknya.
Makalah ini akan menguraikan bagaimana studi filsafat dari perspektif etika. “Hutan belantara” filsafat atau “hutan belantara” etika akan jauh lebih mudah dimasukinya jika terdapat “peta petunjuk” sebagai gambaran awal dan umum sebelum benar-benar terlibat kajian intensif tentangnya.

Peta Kajian Etika

Etika adalah bidang kajian filsafat yang terkait dengan persoalan nilai moral prilaku manusia. Dalam sistematika filsafat, ia merupakan bagian dari kajian aksiologi, yaitu cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai. Sebagai bagian dari kajian filsafat, etika merupakan pemikiran filosofis tentang nilai moral, bukan nilai moral itu sendiri. Nilai moral adalah kualitas prilaku baik dari manusia. Ajaran yang memberi manusia tentang bagaimana berprilaku dengan kualitas baik adalah moralitas atau dalam Islam dikenal dengan akhlak.
Maka etika adalah ilmu atau lebih tepatnya pengetahuan filosofis,[1] dan bukan merupakan ajaran (normatif) sebagaimana moralitas atau akhlak. Setiap moralitas atau akhlak menghendaki supaya manusia berprilaku baik sesuai dengan yang diajarkan, sedang etika menghendaki supaya manusia melakukan tindakan baik itu dengan kesadaran dan kepahamannya.[2] Sadar dan paham atas apa yang dilakukannya, atas sumber dari mana “petunjuk” perbuatan itu, atas alasan kenapa perbuatan itu dilakukannya, dan atas apa konsekuensi perbuatan itu jika benar-benar dilakukannya.
Terkait dengan ini, maka dapat kita temukan dua macam kajian etika. Pertama, etika deskriptif yaitu etika yang terlibat analisis kritis tentang sikap dan prilaku manusia dan (nilai) apa yang ingin dicapai dalam hidup ini. Dengan tanpa terlibat upaya memberikan “penilaian”, etika ini membicarakan tentang prilaku apa adanya, yaitu prilaku yang terjadi pada situasi dan realitas konkrit yang membudaya. Apa ukuran baik dan buruk bagi suatu tindakan, benarkah nilai-nilai itu bersifat absolut ataukah relatif, berlaku universal ataukah lokal, apa sanksi atau konsekuensi atas pelanggaran nilai-nilai etika itu.[3]
Kedua adalah etika normatif. Dengan kajian yang mendalam, etika ini berusaha menetapkan berbagai sikap dan prilaku ideal yang seharusnya dimiliki dan dijalankan manusia serta tindakan apa yang seharusnya diambil untuk menggapai sesuatu yang bernilai dalam hidup ini.
Dari dua macam etika ini, terlihat bahwa dalam kajiannya, etika selalu terlibat analisis untuk “mengurai” tindakan yang oleh akhlak disebut “baik” itu, bahkan “mengurai” apa sebenarnya yang disebut akhlak itu.
Dalam kehidupan sehari-hari, istilah akhlak terkadang disebut dengan istilah adab. Maka, orang yang berakhlak, lalu disebut orang yang beradab, sebaliknya orang yang buruk prilakunya, disebut tidak beradab. Istilah akhlak terkadang juga disebut dengan sopan santun. Jika ada sekelompok masyarakat yang dapat hidup rukun, giat bekerja dengan cara-cara yang baik, masyarakat yang demikian ini lalu disebut dengan masyarakat yang santun atau yang mempunyai sopan santun, maka ada istilah masyarakat yang santun atau masyarakat yang beradab (civil society).
Dalam etika, nilai prilaku manusia dapat dibedakan dari dua sudut pandang. Pertama, prilaku yang dilihat dari sudut tujuannya. Pembahasan mengenai prilaku demikian, dalam kajian etika dikenal dengan teleologis. Berasal dari kata telos yang berarti tujuan. Teleologis adalah paham etika yang menekankan moral pada nilai intrinsik sebagai konsekuensi suatu perbuatan. Kedua, prilaku yang dilihat dari sudut prosesnya, yang dalam kajian etika dikenal deontologis. Berasal dari kata deon yang berarti proses. Deontologi adalah suatu paham etika yang menekankan perbuatan moral bukan pada nilai intrinsik dari konsekuensi perbuatan baik dan bijak tetapi karena perbuatan itu sendiri.[4]
Secara sederhana bisa dikatakan, dua hal inilah yang menjadi ukuran baik-tidaknya akhlak seseorang. Pada yang pertama, prilaku manusia dikatakan baik jika tujuannya baik atau sebaliknya, prilaku manusia dapat dikatakan buruk jika tujuannya buruk. Sementara pada yang kedua, meski tujuannya buruk jika proses prilaku itu baik, maka prilaku itu tetap dikatakan baik, sebaliknya jika memang prosesnya buruk, meski tujuannya baik, prilaku akan tetap dikatakan buruk.[5]
Kekacauan dalam melihat dua hal –tujuan dan proses– ini, mengakibatkan apa yang dimaksud dengan akhlak itu menjadi kabur. Misalnya: seseorang kepingin menyantuni anak yatim, membantu fakir-miskin, atau memberi nafkah keluarga, memberi sumbangan pada masjid atau madrasah; semua ini jelas merupakan tujuan yang baik. Tetapi jika “tujuan baik” ini diwujudkan dengan cara-cara yang salah, seperti: memasang lotre, mencuri, korupsi, menipu, dll.; tentu semua ini tidak bisa disebut perbuatan yang baik atau berakhlak.
Maka sebenarnya apa yang dimaksud dengan “tujuan baik” dan apa yang dimaksud dengan “proses yang baik” itu? Inilah pertanyaan etika selanjutnya. Ada yang mengatakan tujuan baik itu ketika seseorang dapat meraih, bahkan dapat bersatu dengan Sang Maha Baik itu. Dan untuk itu sejumlah tahapan mesti dilalui sampai manusia harus meninggalkan kebaikan sesaat yang hanya tipuan fatamorgana dari kehidupan materi ini. Inilah yang yang disebut etika idealisme-transenden. Dalam hal ini, tujuan yang ingin dicapai adalah kebaikan yang hakiki, kebaikan yang ideal. Dalam sejarah etika, filsuf Plato merupakan pelopor jenis etika ini.
Di antara pemikiran etika Plato adalah “Cinta kepada Sang Baik”. Hal ini sebagaimana anekdot Plato tentang tawanan dalam goa, yang digambarkan secara singkat; sebelum ia dapat lepas dari tali yang mengikatnya, ia hanya punya persepsi, dikiranya apa yang dilihatnya dalam goa adalah realitas, ternyata hanyalah bayangan dari pantulan sinar yang berada dibelakang punggungnya. Namun setelah dapat lepas dari ikatan dan dapat membalikkan badan dan pandangannya, kemudian ia melihat sinar yang menariknya untuk keluar mengikuti arah sinar, sesampai di luar ia pun mengetahui realitas yang sesungguhnya, yang menakjubkannya, tidak hanya itu ia juga tertarik untuk melihat ke atas, kepada sumber terang, yaitu matahari, inilah sumber realitas, katanya.[6]
Dari gambaran ini, etika Plato ini dengan singkat bisa dikatakan “karena cinta ke-Baik-an akan selalu menuju ke Yang Baik”, selanjutnya “karena Baik selalu memberi ke-Baik-kan”. Sang Baik itu memang baik sehingga membuat seseorang selalu rindu dan cinta kepada Nya. Rasa inilah yang disebut eroos, yaitu rasa cinta akan keindahan mutlak.
Dalam sejarah Islam, pemikiran demikian juga terlihat pemikiran para kaum sufi. Para penganut ajaran tasawuf (sufistik), dengan pangalaman gnostinya atau ekstatiknya, mereka mengalami apa yang disebut dengan wahdat al-syuhud (kesatuan kesykasian) sebagaimana al-Ghazali[7] atau wahdat al-wujud (kesatuan wujud) sebagaimana Ibn al-‘Arabi.[8] Kesatuan inilah yang selalu dicitakan oleh kaum sufi. Ajaran-ajaran mereka, memang banyak dipengaruhi oleh ajaran Plato (atau Neoplatonis) sebagaimana diakui oleh sebagian tokoh-tokohnya sendiri atau oleh para peneliti. Pengalaman sufistik adalah personal experience, makanya bisa dikatakan hanya kaum sufi sendiri yang bisa mengalaminya, artinya ini sangat pribadi, subjektif dan bisa jadi sangat elitis. Bahkan ajaran sufi tentang cinta pada Tuhan semisal ajaran Rabi’ah al-Adawiyah,[9] dalam beberapa hal juga ada kesamaan dengan pemikiran Plato.
Ada lagi yang mengatakan, bahwa tujuan baik itu bukanlah tujuan ideal yang baru bisa dirasakan nanti di alam “sana” sebagaimana pada Plato, tetapi kesenangan yang mesti bisa dirasakan sekarang ini, di dunia ini. Pemikiran yang demikian ini dikenal dengan etika hedonisme. Berasal dari kata hedone, yang berarti kesenangan. Namun kesenangan pun masih banyak pemahaman juga. Ada yang memahami kesenangan itu jika dicapai sesuatu secara meteriil itu. Ini disebut hedonisme materialis. Ada lagi yang memahami kesenangan itu sebagaimana dirasakan oleh jiwa manusia. Ini disebut hedonisme psikis. Bahkan ada juga yang memahami kesenangan, jika sebuah penderitaan telah dialami. Ini dasar-dasarnya ada pada pemikiran kaum Stoic, maka disebut Stoisisme.
Ada juga yang mengatakan, yang dimaksud tujuan yang baik itu ketika diraihnya banyak manfaat bagi kehidupan. Untuk yang ini dikenal dengan utilitarisme. Maka prilaku yang baik adalah prilaku yang menghasilkan banyak manfaat dan tidak membawa madlarat. Di antara filsuf yang berpaham seperti ini adalah Jeremi Bentham.
Sementara soal “proses yang baik”, ada yang mengatakan suatu perbuatan disebut baik jika perbuatan itu dijalankan sebagai “keniscayaan objektif” atas tata aturan atau hukum-hukum moral. Jika tata aturan atau hukum-hukum moral dimaksudkan sebagai yang datang dari hukum rasio, maka itulah yang disebut etika metafisik-rasionalis. Filsuf Christian Wolff mungkin bisa diposisikan di sini. Selanjutnya jika tata aturan atau hukum-hukum moral dimaksudkan sebagai yang datang dari Tuhan, itulah yang disebut etika metafisik-teologis atau sering disebut dengan etika religius. Sekalipun dalam kenyataannya etika religius itu memiliki banyak variasi juga.
Maka semua filsuf dari kalangan sufi dan teolog bisa dimasukkan pada kategori ini. Ibn Miskawaih (932-1030) misalnya. Ia seorang tokoh filsafat etika yang paling terkenal dalam pemikiran Islam. Ibn Miskawaih disebut-sebut mewariskan sistem etika yang materinya diambil dari Plato, Aristoteles, Galenus dan tradisi Islam.[10] Menurut Ibn Miskawaih, tujuan dari etika adalah tercapainya kebahagiaan (happines). Ini merupakan pernyataan yang dipegangi para ahli etika, sehingga mereka berkesimpulan bahwa etika Ibn Miskawaih merupakan etika rasional. Dalam pandangan Ibn Miskawaih, rasionalitas dapat menghantarkan manusia menuju kebahagiaan. Adalah keliru untuk berasumsi bahwa manusia bisa memperoleh kebahagiaan dan kebaikan tanpa mempertimbangkan fakultas kognitif dan mengesampingkan prinsip rasionalitas (akal) dan berpuas diri dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan akal.[11]
Ibn Miskawaih tetap menjadikan kebahagiaan sebagai pokok dan bahkan tujuan etikanya. Namun demikian Ibn Miskawaih membedakan antara kebajikan (virtue; khair) dengan kebahagiaan (happines; sa’adah). Kebaikan berlaku umum bagi semua manusia dan menjadi tujuan umum semua orang sedangkan kebahagiaan bersifat individual pencapaiannya berbeda antara satu orang dengan orang lain sehingga semua orang –karena secara umum manusia adalah baik– ­menuju kepada kebaikan, tetapi kebahagiaan belum tentu didapatkan oleh semua orang dalam arti yang sama. Karena menurutnya, otoritas manusia dalam tindakan moral, juga tidak lepas dari kehendak Tuhan dan kemahakuasaan-Nya. Maka usaha mencapai kebahagiaan juga diperlukan petunjuk syari’at (wahyu).[12] Dengan begitu, etika Ibn Miskawaih sekalipun tidak meninggalkan prinsip rasionalitas, namun etikanya menempatkan syari’at pada posisi sentral, sehingga digolongkan pada “metafisik-teologis”.
Pendapat etika metafisik kemudian ditentang oleh para filsuf empirisis. Mereka mengatakan, sulit dipahami pendapat yang mempercayai “ada”nya tata aturan atau hukum-hukum moral sebagai pengetahuan yang menyebabkan suatu perbuatan itu bersifat wajib atau “keniscayaan objektif”, baik “ada” nya itu datang dari Tuhan (sebagaimana etika metafisik-teologis) atau datang secara built in pada rasio manusia dalam keadaan clear and distinct (sebagaimana etika metafisik-rasionalistik). David Hume adalah filsuf yang paling gencar “beradu” argumen dalam persoalan ini. Bagi Hume, perbuatan baik tidak perlu menunggu tata aturan yang objektif, tetapi sejauh pengalaman merasakan baik, termasuk di dalamnya adalah tindakan spontan. Dari sini, kita mengenal etika empirisis.
Pendapat ketiga datang dari Immanuel Kant (1724-1831), yang berusaha mempertemukan dua pendapat tersebut. Dalam bukunya: “kritik atas rasio murni”, Kant mencoba menelusuri bagaimana manusia bisa mengetahui hukum-hukum umum yang objektif itu. Menurut Kant, itu tak lain hasil konstruksi rasio manusia. Maka dalam bukunya “Kritik atas Rasio Praktis”, Kant coba memperlihatkan bahwa “sumber perbuatan moral” manusia yang berupa bentuk (form) perbuatan itu tampil sebagai “perintah” (imperative) dalam kesadaran manusia. Perintah tersebut dapat tampil dalam kesadaran dengan dua cara, subjektif dan objektif. Cara subjektif adalah aturan pokok (maxime) bagi perbuatan perseorangan atau individu, sedangkan cara objektif berupa “perintah” (imperative) yang mendorong kehendak untuk melakukan perbuatan. Imperatif atau perintah itu berlaku umum dan niscaya bagi manusia, artinya berlaku “tanpa syarat” (categorical). Imperatif kategorik inilah etika khas Kant.
Immanuel Kant[13] termasuk orang pertama yang tidak setuju dengan kebahagiaan sebagai tujuan etika. Ia lebih mengarahkan perhatiannya pada prilaku moral itu sendiri, bukan karena alasan lain. Menurut Kant, perbuatan berakhlak adalah perbuatan yang bersumber dari adanya keinsyafan penuh atas kewajiban.
Bagi Kant, virtue bersifat unconditioned, tak bersyarat, otonom, dan universal, sedang happines bersifat conditioned, bersyarat, heteronom dan partikular. Hubungan keduanya adalah kausalistik, artinya virtue berlaku sebagai landasan, sedang happines sebagai konsekuensi yang menyertainya.[14] Dengan demikian hubungan keduanya mempunyai struktur yang dapat dirumuskan secara rasional. Manusia dalam sistem etika Kant dinyatakan sebagai subjek yang aktif, kreatif, dinamis dan otonom tanpa mengesampingkan nilai religiusitasnya. Metafisika menduduki posisi yang kuat bagi pemikiran etika Kant, karena etika rasional Kant menempatkan postulasi Personal God (Tuhan) disamping freedom (kebebasan) dan immortality (kehidupan setelah mati).[15]
Sumber nilai etis
Pembicaraan yang tidak kurang menariknya dalam etika adalah soal sumber nilai etis atau dari mana datangnya “petunjuk” bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan yang bermoral. Maka setidaknya terdapat tiga pandangan, yaitu: pertama, konvensionalisme. Aliran ini menyatakan bahwa ukuran baik dan buruk dari perbuatan manusia terkait dengan konvensi masyarakat tertentu. Nilai etis awalnya muncul sebagai produk sosial, produk tradisi dan budaya tertentu. Oleh karenanya apa yang disebut baik oleh tradisi tertentu dianggap sebaliknya oleh tradisi yang lain. Sebagai suatu bentuk konvensi, menurut pandangan ini, nilai etis dapat mengalami perubahan dan perkembangan seiring dengan perubahan dan perkembangan tradisi dan budayanya. Kedua, teistic-subjectivisme yang menyatakan bahwa nilai baik dan nilai buruk yang mendasari perbuatan manusia adalah atas petunjuk wahyu. Ia merupakan ‘patokan’ yang terkandung dalam risalah agama. Sekalipun rasionalitas tetap digunakan dalam memahami maksud wahyu, namun fungsinya sebatas sebagai sarana untuk menggapai pesan wahyu, bukan sebagai wahyu itu sendiri.
Dan ketiga, perennialisme. Istilah perennial diduga untuk pertama kali digunakan di dunia Barat oleh seorang bernama Agustinus Steuchus (1497-1548) sebagai judul karyanya, De Perenni Philosophia, yang diterbitkan pada tahun 1540.[16] Dalam karyanya itu, Steuchus menegaskan bahwa wisdom itu asalnya membicarakan yang Ilahi, yaitu kepada Adam, yang bagi kebanyakan orang, secara perlahan (gradual) sudah banyak dilupakan dan dialihkan kepada hidup penuh mimpi.[17] Agama atau filsafat yang benar ini, yang bersifat theosis (orientasi ketuhanan) dan pencapaian pada sacred knowledge, telah berada (exist) sejak manusia ada, dan bisa dicapai melalui ekspresi sejarah, tradisi atau dengan intuisi intelektual dan “kontemplasi filosofis”[18]
Perennial juga bisa disebut sebagai tradisi dalam pengertian al-din, al-sunnah, dan al-silsilah. Al-din dimaksudkan adalah sebagai agama yang meliputi semua aspek dan percabangannya. Disebut al-sunnah karena perennial mendasarkan segala sesuatu atas model-model sakral yang sudah menjadi kebiasaan turun-temurun di kalangan masyarakat tradisional. Disebut al-silsilah karena perennial juga mata rantai yang mengaitkan setiap periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional kepada Sumber segala sesuatu, seperti terlihat secara jelas di dalam dunia tasawwuf. Karenanya filsafat perennial yang dalam pengertian tradisi ini –menurut ungkapan Nasr– mirip sebuah pohon, akar-akarnya tertanam melalui wahyu di dalam sifat ilahi dan darinya tumbuh batang dan cabang-cabang sepanjang zaman.[19] Dengan demikian filsafat perennial adalah tradisi yang bukan dalam pengertian mitologi kuno yang hanya berlaku bagi suatu masa kanak-kanak, melainkan merupakan sebuah pengetahuan yang benar-benar riel.[20]
Dengan demikian terdapat dua pengertian tentang perennial, yaitu sebagai suatu kesucian, keabadian, dan dari sini kemudian muncul ‘padanan kata’, misalnya scientia sacra atau dalam Islam disebut al-hikmah al-ilahiyah (kearifan yang bersifat ketuhanan) atau philosophis perennis, atau seperti definisi F. Schoun, “the universal gnosis which always has existed and always will exsist”. Sejalan dengan pengertian itu, ia juga bisa dimengerti sebagai tradisi yang cabangnya turun-temurun.
Kaitannya dengan sumber nilai etis, aliran perennial menyatakan bahwa sumber nilai etis itu bersifat universal, melampaui berbagai generasi, suku bangsa, tradisi, bahkan agama. Ia merupakan sesuatu yang suci dan luhur yang bersifat abadi dan karenanya juga bersifat turun temurun. Ia merupakan al-hikmah al-ilahiyah (kearifan yang bersifat ketuhanan) yang di atasnya berdiri suatu tradisi luhur dan ia dapat didekati hanya dengan kebijaksanaan (wisdom), bukan oleh akal meskipun tidak mesti bertentangan dengan akal; juga bukan merupakan petunjuk wahyu meskipun tidak harus bertentangan dengan wahyu.
Nilai etis hanya tetap sebagai nilai yang berada dalam sumbernya, jika tidak dijadikan dasar dalam suatu tindakan moral. Namun demikian terjadinya tindakan moral masih harus melewati pertimbangan-pertimbangan manusiawi sebagai alasan mengapa tindakan tertentu akhirnya dipilih dan dilakukan.
Dalam etika, pembicaraan ini dikenal ada dua pandangan, yaitu apa yang disebut etika individual dan etika sosial.[21] Etika individual berpandangan bahwa tindakan etis terjadi karena pertimbangan kebaikan dan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu. Dengan pertimbangan semacam itu, tindakan moral dapat saja menghantarkan pada ketinggian moralitas tertentu, sehingga secara sosiologis pelakunya mendapatkan posisi sosial tertentu atau secara riligius mengalami kedalaman spiritualitas tertentu. Namun tidak jarang juga pertimbangan individual justru menghantarkannya pada apa yang disebut sebagai tindakan splinter, yang menyebabkan pelakunya terisolasi dan tereliminasi.
Selanjutnya etika sosial;[22] menurut etika sosial, tindakan moral terjadi karena pertimbangan kemaslahatan orang lain atau pertimbangan kebaikan masyarakat yang jauh lebih luas.

Akhirul Kalam

Sampai di sini, sekilas kita telah mengenal beberapa pendapat tentang pemikiran etika. Dalam studi filsafat, sebenarnya masih banyak lagi aliran dan tokoh etika yang di sini belum disebut. Yang jelas, problem etika tetap menarik untuk dikaji, lebih-lebih pada waktu di mana akhlak dan moral sudah benar-benar diabaikan, seperti saat ini.
Kecenderungan untuk bertindak praktis, membuat (ajaran) akhlak sulit dipahami atau lebih tepatnya, membuat orang kesulitan menyediakan waktu untuk memahaminya, apalagi menfilsafatinya. Akhlak kemudian harus tampil rigid hanya sebagai etiket. Maka wajar kalau akhlak kemudian menjadi kabur. Jika memang demikian keadaannya, berarti kita sekarang hidup di tengah-tengah bangsa yang jauh dari akhlak. Inilah tampaknya yang menjadi keprihatinan para ulama, para guru, dan para orang tua.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)
———, The Idea of Universality of Ethical Norms in Ghazali and Kant, (Ankara: Dianet Wakfi, 1992)
al-Razi, Muhammad bin Zakaria, Pengobatan Ruhani (Bandung: Mizan, 1995)
Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1988)
Asy’ari, Musa, Filsafat, Sunnah Nabi dalam Berfikir, (Yogyakarta: Lesfi, 2000)
Boer, T.J. De, The History of Philosophy in Islam. Trans. Edwa d R Jones B.D, (London: Lazac B. Company Ltd., 1970)
Bullock, Allan (ed.), The Harper Dictionary of Modern Thought, (New York: Harper & Row Publishers, 1988)
Dahlan, Abdul Aziz, “Pengajaran tentang Tuhan dan Alam: Paham Tawhid Ibn ‘Arabi,” dalam Ulumul Qur’an, vol. III, No. 4/1992
Fakhri, Majid, Ethical Theoris in Islam (Leiden: E,J. Bill, 1991)
Miskawaih, Ibn, Tahzib al-Akhlaq, (Mesir: Dar al-Manor,)
Nasr, Seyyed Hossein, “Pengantar” dalam Frithjof Schoun, Islam and the Perennial Philosophy, Trans. by J. PeterHobson, Worldof Islam Festival Publishing Company Ltd., 1976
———, Knowledge and the Sacred, (New York: State University of New York, 1989)
———, Tradisional Islam in the Modern world, (Kuala Lumpur: Foundation for Traditional Studies, 1988)
Nielsen, Kai, “Problems of Ethics”, dalam Paul Edwards (ed). The Encyclopedia of Philoso­phy, (New York: Macmillan Publishing co., Inc., 1972)
Schimmel, Animarie, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000)
Schoun, Frithjof, Understanding Islam (London: George Allen & Unwin Ltd., 1963)
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, cet. Ke-2, 1997)
Soemargono, Soejono (terj.), Berpikir Secara Kefilsafatan, (Yogyakarta: Nurcahaya, 1988)
Suseno, Franz Magnis-, 13 Tokoh Etika, Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, III/1999)
Taylor, Paul W., “What is Morality, Introduction” dalam Paul W Taylor, Problem of Moral Phylosophy, (California: Dickenson Publising Company, Inc, 1967)
Win­ter, Gibson (ed.), Social Ethics; Issues in Ethic and Society, (London: SCM Press Ltd., 1968)

Posting Komentar

0 Komentar