Seiring dengan semakin dekatnya waktu
pelaksanaan pemilu 2014, semua pihak tampak mulai mempersiapkan diri
untuk menyongsong momen akbar demokrasi ini. Sebagai lembaga negara,
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai menyeleksi partai-partai politik
sebagai peserta pemilu. Bahkan sejumlah tokoh sejak jauh hari telah
menyiapkan dan mengkampanyekan diri untuk menjadi orang nomor satu di
republik ini.
Pada momen menjelang pemilu seperti
sekarang, hampir tak ada elite masyarakat yang berlaku buruk.
Sebaliknya, pada momen seperti ini, hampir semua elite bangsa secara
spontan dan berbondong-bondong berubah menjadi pemimpim yang baik,
peduli terhadap masalah masyarakat, turun blusukan ke gang-gang kecil
dan masih banyak sederet kebaikan lainnya. Termasuk di antaranya adalah
mereka yang beberapa waktu sebelumnya santer diberitakan karena diduga
terlibat dalam aksi kejahatan korupsi maupun kejahatan lainnya. Bahkan
tak sedikit dari para elite yang rela keluar uang dalam jumlah tidak
sedikit untuk mengiklankan diri di pelbagai macam media agar dikenal
sebagai sosok dan pemimpin yang baik.
Kebaikan kaum elite atau para calon
pemimpi seperti di atas akan terus bertambah dan terus bertambah sering
hingga tiba waktu pelaksaan pemilu. Pada umumnya, setelah pesta
demokrasi usai, para elite bangsa itu kembali ke prilaku dan watak
asalnya. Tak ada lagi janji, tak ada lagi kepedulian dan pastinya tak
ada lagi iklan tentang kebaikan mereka.
Sangat disayangkan, karena pada umumnya
persiapan masyarakat untuk menyambut pesta demokrasi tidak semeriah
seperti terjadi di kalangan elite. Seakan masyarakat sudah sangat mafhum
bahwa pemilu ataupun pergantian pemimpin kerap tidak berarti secara
signifikan bagi perubahan nasib mereka menuju perbaikan. Hal yang jamak
terjadi justru sebaliknya.
Sebagai penyelenggara pemilu, KPU harus
mengeluarkan anggaran khusus untuk sosialisasi sekaligus meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam momen pemilihan. Bahkan seperti kerap
diberitakan oleh banyak media, tak sedikitp orang/pihak yang menggunakan
“politik uang” agar masyarakat memilihnya.
Dalam kondisi seperti ini, sangat bisa
dipahami bila pemilu demi pemilu tidak kunjung berhasil menjaring
pemimpin terbaik bagi masyarakat. Bahkan tak jarang dari pemimpin
ataupun calon yang terpilih justru diduga terlibat dalam persoalan
korupsi.
Kenapa terjadi demikian? Jawabannya
adalah karena di satu sisi, calon yang ada sebenarnya sangat jauh dari
karakter baik. Hal yang jamak ditemukan adalah calon pemimpin yang
dicitrakan baik. Sementara di sisi lain, sebagian masyarakat sudah
sampai pada tahap apatis terhadap momen demokrasi. Hingga mereka tidak
mau memilih calon tertentu kecuali mendapatkan “siraman” tertentu dari
calon tertentu.
Di sinilah pentingnya kebaikan pemimpin
dan masyarakat sebagai pihak yang dipimpin. Secara sederhana, kebaikan
pemimpin dapat didefinisikan sebagai pemimpin yang baik secara watak dan
prilaku, tidak semata-mata karena politik pencitraan. Sedangkan
masyarakat yang baik secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
masyarakat yang memilim pemimpin baik secara jujur, tidak semata-mata
karena adanya kompensasi tertentu.
Apa yang disampaikan oleh salah satu
sahabat Nabi Muhammad SAW, Ali bin Talib, menarik untuk dijadikan
renungan mendalam oleh semua komponen bangsa. Menurut salah satu
riwayat, pada suatu saat, sahabat Ali ditanya oleh seseorang kenapa pada
era kekhalifahan beliau banyak kejahatan, kerusakan bahkan juga perang
sesama umat Islam? Sahabat sekaligus sepupu sekaligus menantu Nabi itu
menjawab kurang lebih adalah, karena yang menjadi pemimpin pada
waktu-waktu sebelumnya adalah sosok-sosok agung dan baik seperti sahabat
Abu Bakar, sahabat Umar bin Khatab dan yang lainnya. Begitu juga,
masyarakat yang dipimpin juga terdiri dari orang-orang baik seperti
beliau.
Sumber : http://pertarunganhidup.wordpress.com
0 Komentar